Harmud


Sunday, March 29, 2009

☆☆☆ RENUNGAN 1 ☆☆ ☆


~~ MEMULIAKAN


ANAK PEREMPUAN ~~



Kelahiran anak laki-laki, hingga kini, dianggap sebagai pelanggeng garis keturunan keluarga. Tak sedikit pula yang menjadikannya penanda kehormatan. Sebaliknya, berbagai belitan kesedihan dan rasa malu menghantui pasangan yang ‘hanya’ dikaruniai anak perempuan. Padahal, dalam Islam, jika anak-anak perempuan itu dimuliakan yang terurai dalam sikap kasih sayang, memberikan pendidikan dan pengajaran agama yang baik, janji surga telah menantikannya.




Perasaan kecil hati kadang menyelimuti pasangan yang belum juga dikaruniai anak laki-laki. Bahkan tak sedikit orang tua yang lebih mendambakan bayi yang hendak lahir ini laki-laki dibanding keinginan untuk mendapatkan anak perempuan. Demikianlah keadaan mayoritas manusia sebagaimana dikatakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ‘Aisyah radhiyallahu 'anha:

“Barangsiapa yang diberi cobaan dengan anak perempuan kemudian ia berbuat baik pada mereka, maka mereka akan menjadi penghalang baginya dari api neraka.” (HR. Al-Bukhari no. 1418 dan Muslim no. 2629)

Al-Imam An-Nawawi menjelaskan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutnya sebagai ibtila’ (cobaan), karena biasanya orang tidak menyukai keberadaan anak perempuan. (Syarh Shahih Muslim, 16/178). Bahkan dulu pada masa jahiliyah, orang bisa merasa sangat terhina dengan lahirnya anak perempuan. Sehingga tergambarkan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

"Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar gembira dengan kelahiran anak perempuan, merah padamlah wajahnya dan dia sangat marah. Dia menyembunyikan diri dari orang banyak karena buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memelihara anak itu dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya hidup-hidup di dalam tanah? Ketahuilah, betapa buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (An-Nahl: 58-59)

Sementara di dalam Kitab-Nya yang mulia, Allah Subhanahu wa Ta'ala mengancam perbuatan mengubur anak-anak perempuan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

“Dan ketika anak perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, atas dosa apakah dia dibunuh.” (At-Takwir: 8-9)

Al-Mau`udah adalah anak perempuan yang dikubur hidup-hidup oleh orang-orang jahiliyah karena kebencian terhadap anak perempuan. Pada hari kiamat, dia akan ditanya atas dosa apa dia dibunuh, untuk mengancam orang yang membunuhnya. Apabila orang yang dizalimi ditanya (pada hari kiamat kelak, –pen.), maka bagaimana kiranya persangkaan orang yang berbuat zalim (tentang apa yang akan menimpanya, –pen.)? (Tafsir Ibnu Katsir, 8/260)Demikianlah Islam memuliakan anak perempuan. Selain dalam Al Qur’an, dalam Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam didapati pula larangan yang jelas dari mengubur anak perempuan. Hadits ini disampaikan oleh Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Sesungguhnya Allah mengharamkan atas kalian durhaka pada ibu, menolak untuk memberikan hak orang lain dan menuntut apa yang bukan haknya, serta mengubur anak perempuan hidup-hidup. Dan Allah membenci bagi kalian banyak menukilkan perkataan, banyak bertanya, dan menyia-nyiakan harta.” (HR. Al-Bukhari no. 5975 dan Muslim no. 593)

Wa`dul banat adalah menguburkan anak perempuan hidup-hidup sehingga mereka mati di dalam tanah. Ini merupakan dosa besar yang membinasakan pelakunya, karena merupakan pembunuhan tanpa hak dan mengandung pemutusan hubungan kekerabatan. (Syarh Shahih Muslim, 12/11)Di sisi lain, dalam agama yang mulia ini ada anjuran agar orang tua yang dikaruniai anak perempuan memuliakan anaknya. Allah Subhanahu wa Ta'ala yang menganugerahkan anak perempuan telah menjanjikan surga bagi hamba-Nya yang berbuat kebaikan kepada anak perempuannya.

Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah mengatakan:Seorang wanita miskin datang kepadaku membawa dua anak perempuannya, maka aku memberinya tiga butir kurma. Kemudian dia memberi setiap anaknya masing-masing sebuah kurma dan satu buah lagi diangkat ke mulutnya untuk dimakan. Namun kedua anak itu meminta kurma tersebut, maka si ibu pun membagi dua kurma yang semula hendak dimakannya untuk kedua anaknya. Hal itu sangat menakjubkanku sehingga aku ceritakan apa yang diperbuat wanita itu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau berkata: “Sesungguhnya Allah telah menetapkan baginya surga dan membebaskannya dari neraka.” (HR. Muslim no. 2630)Dalam riwayat dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menyebutkan kedekatannya dengan orang tua yang memelihara anak-anak perempuan mereka dengan baik kelak pada hari kiamat:

“Barangsiapa yang mencukupi kebutuhan dan mendidik dua anak perempuan hingga mereka dewasa, maka dia akan datang pada hari kiamat nanti dalam keadaan aku dan dia (seperti ini),” dan beliau mengumpulkan jari jemarinya. (HR. Muslim no. 2631)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menjelaskan, hadits-hadits ini menunjukkan keutamaan seseorang yang berbuat baik kepada anak-anak perempuannya, memberikan nafkah, dan bersabar terhadap mereka dan dalam segala urusannya. (Syarh Shahih Muslim, 16/178)Masih berkenaan dengan keutamaan membesarkan dan mendidik anak perempuan, seorang shahabat, ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Barangsiapa yang memiliki tiga orang anak perempuan, lalu dia bersabar atas mereka, memberi mereka makan, minum, dan pakaian dari hartanya, maka mereka menjadi penghalang baginya dari api neraka kelak pada hari kiamat.” (Dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Adabil Mufrad no. 56: “Shahih”)

Tidak hanya itu saja, dalam berbagai riwayat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menggarisbawahi hal ini. Jabir bin Abdillah rahimahullahu mengatakan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

“Barangsiapa yang memiliki tiga orang anak perempuan yang dia jaga, dia cukupi dan dia beri mereka kasih sayang, maka pasti baginya surga.” Seseorang pun bertanya, “Dua juga, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Dan dua juga.” (Dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Adabil Mufrad no. 58: “Hasan”)



Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma juga meriwayatkan dari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Tidaklah seorang muslim yang memiliki dua anak perempuan yang telah dewasa, lalu dia berbuat baik pada keduanya, kecuali mereka berdua akan memasukkannya ke dalam surga.” (Dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Adabil Mufrad no. 57: “Hasan lighairihi”)

Agama yang sempurna ini juga memberikan gambaran tentang pengungkapan sikap kasih sayang orang tua kepada anak perempuannya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan contoh bagi umat beliau melalui pergaulannya dengan putri beliau, Fathimah radhiyallahu ‘anha . Tentang ini, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkisah:

“Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih mirip dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam cara bicara maupun duduk daripada Fathimah.” ‘Aisyah berkata lagi, “Biasanya apabila Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Fathimah datang, beliau mengucapkan selamat datang padanya, lalu berdiri menyambutnya dan menciumnya, kemudian beliau menggamit tangannya hingga beliau dudukkan Fathimah di tempat duduk beliau. Begitu pula apabila Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang padanya, maka Fathimah mengucapkan selamat datang pada beliau, kemudian berdiri menyambutnya, menggandeng tangannya, lalu menciumnya.” (Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Adabul Mufrad no. 725)Demikian pula yang dilakukan oleh sahabat beliau yang terbaik, Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu . Diceritakan oleh Al-Bara` bin ‘Azib radhiyallahu 'anhu:

“Aku pernah masuk bersama Abu Bakr menemui keluarganya. Ternyata ‘Aisyah putrinya sedang terbaring sakit panas. Aku pun melihat Abu Bakr mencium pipi putrinya sambil bertanya, ‘Bagaimana keadaanmu, wahai putriku?” (HR. Al-Bukhari no. 3918)

Dalam hal pemberian, Islam juga mengajarkan untuk memberikan bagian yang sama antara anak laki-laki dan perempuan. Hal ini berdasarkan hadits An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu 'anhu:

“Ayahku pernah memberiku sebagian hartanya, lalu ibuku, ‘Amrah bintu Rawahah, mengatakan padanya, “Aku tidak ridha hingga engkau minta persaksian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Maka ayahku pun menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta persaksian beliau. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya padanya, “Apakah ini kau lakukan pada semua anakmu?” “Tidak,” jawab ayahku. Beliau pun bersabda, “Bertakwalah kepada Allah tentang urusan anak-anakmu.” Ayahku pun kembali dan mengambil kembali pemberian itu.” (HR. Al-Bukhari no. 2650 dan Muslim no. 1623)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menjelaskan tentang hadits ini bahwa semestinya orang tua menyamakan di antara anak-anaknya dalam hal pemberian. Dia berikan pada seorang anak sesuatu yang semisal dengan yang lain dan tidak melebihkannya, serta menyamakan pemberian antara anak laki-laki dan perempuan. (Syarh Shahih Muslim, 11/29)Begitu pula dari sisi pendidikan, orang tua harus memberikan pengajaran dan pengarahan kepada anak-anaknya, termasuk anak perempuannya. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Setiap anak dilahirkan di atas fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Sebagaimana binatang ternak akan melahirkan binatang ternak yang sempurna. Apakah engkau lihat ada binatang yang lahir dalam keadaan telah terpotong telinganya?” (HR. Al-Bukhari no. 1385)


Seorang anak yang terlahir di atas fitrah ini siap menerima segala kebaikan dan keburukan. Sehingga dia membutuhkan pengajaran, pendidikan adab, serta pengarahan yang benar dan lurus di atas jalan Islam. Maka hendaknya kita berhati-hati agar tidak melalaikan anak perempuan yang tak berdaya ini, hingga nantinya dia hidup tak ubahnya binatang ternak. Tidak mengerti urusan agama maupun dunianya. Sesungguhnya pada diri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ada teladan yang baik bagi kita. (Al-Intishar li Huquqil Mukminat, hal. 25)Bahkan ketika anak perempuan ini telah dewasa, orang tua selayaknya tetap memberikan pengarahan dan nasehat yang baik. Ini dapat kita lihat dari kehidupan seseorang yang terbaik setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu 'anhu, dalam peristiwa turunnya ayat tayammum. Diceritakan peristiwa ini oleh ‘Aisyah radhiyallahu 'anha:

“Kami pernah keluar bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam salah satu safarnya. Ketika kami tiba di Al-Baida’ –atau di Dzatu Jaisy– tiba-tiba kalungku hilang. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun singgah di sana untuk mencarinya, dan orang-orang pun turut singgah bersama beliau dalam keadaan tidak ada air di situ. Lalu orang-orang menemui Abu Bakr sembari mengeluhkan, “Tidakkah engkau lihat perbuatan ‘Aisyah? Dia membuat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang singgah di tempat yang tak ada air, sementara mereka pun tidak membawa air.” Abu Bakr segera mendatangi ‘Aisyah. Sementara itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang tidur sambil meletakkan kepalanya di pangkuanku. Abu Bakr berkata, “Engkau telah membuat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang singgah di tempat yang tidak berair, padahal mereka juga tidak membawa air!” Aisyah melanjutkan, “Abu Bakr pun mencelaku dan mengatakan apa yang ia katakan, dan dia pun menusuk pinggangku dengan tangannya. Tidak ada yang mencegahku untuk bergerak karena rasa sakit, kecuali karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang tidur di pangkuanku. Keesokan harinya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bangun dalam keadaan tidak ada air.



Maka Allah turunkan ayat tayammum sehingga orang-orang pun melakukan tayammum. Usaid ibnul Hudhair pun berkata, “Ini bukanlah barakah pertama yang ada pada kalian, wahai keluarga Abu Bakr.” ‘Aisyah berkata lagi, “Kemudian kami hela unta yang kunaiki, ternyata kami temukan kalung itu ada di bawahnya.” (HR. Al-Bukhari no. 224 dan Muslim no. 267)Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu mengatakan bahwa di dalam hadits ini terkandung ta`dib (pendidikan adab) seseorang terhadap anaknya, baik dengan ucapan, perbuatan, pukulan, dan sebagainya. Di dalamnya juga terkandung ta`dib terhadap anak perempuan walaupun dia telah dewasa, bahkan telah menikah dan tidak lagi tinggal di rumahnya. (Syarh Shahih Muslim, 4/58)

Inilah di antara pemuliaan Islam terhadap keberadaan anak perempuan. Tidak ada penyia-nyiaan, tidak ada peremehan dan penghinaan. Bahkan diberi kecukupan, dilimpahi kasih sayang diiringi pendidikan yang baik, agar kelak memberikan manfaat bagi kedua orang tuanya di negeri yang kekal abadi.


Akan tetapi mengapa masih saja ada orang tua yang selalu membedakan anaknya yang perempuan dengan anak laki-laki dalam hal kasihsayang……




Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.





*******************


~ SEORANG PEMINTA MAAF ADALAH SEORANG PEMAAF YANG TULUS ~


Dalam banyak kesempatan, kita sering mendengar ajakan untuk mudah meminta maaf bahkan sebelum diminta. Kita juga sering menemukan bahwa pada pribadi-pribadi mulia, meminta maaf itu dilakukan, terkadang jauh sebelum kesalahannya diketahui oleh pihak lain. Sesaat setelah dia menyadari kesalahannya, dia akan segera meminta maaf kepada stake-holder-nya. Dia tidak perlu menunggu adanya keluhan, komplain atau teguran terlebih dahulu. Karena jika hal itu terjadi, maka dapat berarti kesalahannya telah berdampak negatif dan bisa jadi sedang dalam proses membangun citra negatif tentang dirinya.

Bersegera minta maaf, selain memiliki manfaat preventif, juga sekaligus membangun citra positif tanggung jawab. Jika permintaan maaf disampaikan mendahului disadarinya sebuah kesalahan, yang akan terbangun adalah rasa hormat.


Dalam persahabatan yang kita jalani, membuat kesalahan adalah keniscayaan yang tidak diinginkan atau sebaiknya tidak direncanakan. Tetapi jika kesalahan telah terjadi, maka hal pertama yang harus dilakukan adalah meminta maaf. Bisa jadi, upaya cepat meminta maaf dapat menjadi bagian dari perbaikan itu sendiri; atau paling tidak dapat menyiapkan kondisi yang baik bagi tindakan perbaikan yang akan dilakukan.
Untuk dapat menjadi pribadi yang bersegera meminta maaf, sangat-lah diperlukan ketulusan - hati penyayang yang damai. Karena hanya peminta maaf yang tulus-lah, yang telah terlebih dahulu memaafkan pihak lain jika permohonan maafnya tidak diterima - bahkan sebelum permintaan maafnya diutarakan. Jadi, seorang peminta maaf adalah seorang pemaaf yang tulus, karena sebelum meminta maaf, dia telah terlebih dahulu memaafkan. Dengan itu, dia akan bahagia sebelum dan sesudah permintaan maaf itu disampaikan.

Memang tidak semua yang meminta maaf telah memiliki hati yang tulus; tapi dia yang sedang memastikan dirinya selalu belajar menjadi pribadi yang tulus, akan dapat menjadi pribadi yang tulus (keahlian dalam melakukan datang dari melakukan). Kemudian anjuran selanjutnya adalah memastikan ‘wajah’ minta maaf kita, terlihat santun, sehingga tidak mengundang kecurigaan. Karena kesantunan, selalu merupakan bagian terlunak dari kekuatan, yang paling mudah diterima semua orang.

Pengertian baik kita tentang pemaaf, sebaiknya tidak dikaburkan dengan banyaknya pribadi palsu yang menjadikan permintaan maaf sebagai penutupan atas kelemahan upaya atau tipuan termanis dari penghindaran tanggung jawab. Selalu ada mekanisme penyaringan yang efektif dalam setiap hati nurani insan, untuk dapat membedakan dengan baik, yang palsu dari yang asli.


***********



~ HARTA YANG KITA MILIKI ~


Di antara harta yang haram adalah harta warisan yang kita dapat bukan dengan cara pembagian warisan yang telah ditetapkan Allah SWT. Katakanlah seharusnya seorang anak wanita hanya mendapat 1/2 dari yang didapat anak laki-laki, namun entah karena tidak tahu atau pura-pura tidak tahu, dimakannya harta warisan yang haram, maka harta yang bukan jatahnya itu harus dipertanggung-jawabkan di sisi Allah SWT.


Sebab di dalam Al-Quran Al-Karim, melanggar hukum warisan memang diancam masuk neraka. Bukan berhenti di situ saja, bahkan Allah SWT menegaskan bahwa pelakunya akan dikekalkan di dalamnya. Na''uzu billahi min zalik.




Ya Allah, kami berlindung dari neraka-Mu hanya gara-gara makan harta haram yang telah Engkau jelaskan dalam kitab-Mu.


Allah SWT telah mewajibkan umat Islam untuk membagi warisan sesuai dengan petunjuknya. Sebagaimana yang telah Allah syariatkan di dalam Al-Quran Al-Kariem Itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah.


Di dalam Al-Quran surat An-Nisa, setelah Allah SWT menjelaskan siapa saja yang berhak mendapat harta waris dan berapa besar hak masing-masing, lalu Allah yang menjanjikan buat orang yang taat kepada aturan hukum waris untuk masuk surga. Tapi sebaliknya, buat mereka yang tidak mengerjakan aturan pembagian warisan itu, akan dijebloskan ke neraka dan kekal selama-lamanya.



Barang siapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam surga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.(QS. An-Nisa'': 13-14)




Di ayat ini Allah SWT telah menyebutkan bahwa membagi warisan adalah bagian dari hudud, yaitu sebuah ketetapan yang bila dilanggar akan melahirkan dosa besar. Bahkan di akhirat nanti akan diancam dengan siska api neraka. Tidak seperti pelaku dosa lainnya, mereka yang tidak membagi warisan sebagaimana yang telah ditetapkan Allah SWT tidak akan dikeluarkan lagi dari dalamnya, karena mereka telah dipastikan akan kekal selamanya di dalam neraka sambil terus menerus disiksa dengan siksaan yang menghinakan. Sungguh berat ancaman yang Allah SWT telah ditetapkan buat mereka yang tidak menjalankan hukum warisan. Cukuplah ayat ini menjadi peringatan buat mereka yang masih saja mengabaikan perintah Allah. Jangan sampai siksa itu tertimpa kepada kita semua.


Karena itu wajarlah bila Rasulullah SAW mewanti-wanti kita secara khusus untuk mempelajari ilmu pembagian harta warisan. Karena ilmu pembagian warisan itu setengah dari semua cabang ilmu. Lagi pula Rasulullah SAW mengatakan bahwa ilmu warisan itu yang pertama kali akan diangkat dari muka bumi.



Rasulullah SAW bersabda, "Pelajarilah ilmu faraidh (bagi waris) dan ajarkanlah. Karena pengetahuan bagi waris setengah dari ilmu dan dilupakan orang. Dan ilmu bagi waris adalah ilmu yang pertama kali akan dicabut dari umatku." (HR Ibnu Majah, Ad-Daruquthuny dan Al-Hakim).




Hikmah kita mempelajari dan mensosialisasikan ilmu bagi waris adalah agar seluruh lapisan umat Islam tahu dan siap menerapkannya, bila mereka menghadapi persoalan warisan. Mengapa sekarang ini begitu banyak orang yang enggan membagi harta warisan dengan hukum Allah? Jawabnya karena ilmu ini tidak pernah secara khusus disosialisasikan di tengah khalayak. Di tengah berbagai ephoria simbol-simbol ke-Islaman, seperti pemakaian busana muslimah, marak berdirinya bank-bank syariah, berbagai aktifitas keIslaman di instansi, perkantoran, kampus dan bahkan juga di televisi, sayang sekali tidak ada satu pun yang mengangkat tema pembagian harta warisan.


Padahal mempelajari dan mengajarkan ilmu ini justru sudah menjadi wanti-wanti Rasulullah SAW. Mengapa justru tidak ada yang mengangkatnya? Sementara korbannya sudah seringkali kita lihat, di antaranya yang mungkin sedang anda hadapi sekarang ini. Ternyata ada di antara ahli waris yang menolak dibaginya warisan dengan hukum Islam. Sangat boleh jadi sebabnya sederhana, yaitu dia belum pernah kenal dengan hukum waris secara syariah.
Mungkin hatinya baik, orangnya juga mungkin bukan orang jahat, tapi kalau dia belum pernah dikenalkan dengan bagian dari syariah ini, tentu yang harus ikut dipersalahkan adalah mereka yang tidak mau mensosialisasikannya sebelumnya.

Sekarang ini adalah kesempatan baik buat kita untuk mensosialisasikannya kepada teman, saudara, lingkungan dan handai taulan. Jangan menunggu ada yang mau meninggal dulu baru bingung panggil ustadz. Tetapi ajarilah dan sosialisasikan sejak dini dan sejah jauh hari sebelum ada orang tua yang meninggal dunia. Pastikan seluruh anggota keluarga kita sudah paham dan mengerti betul bagaimana hukum Allah SWT atas harta warisan.

Sebenarnya saya heran, kenapa kita mau memakan, memakai, mempergunakan sesuatu yang tidak jelas asal usulnya itu? Bukankah diakhirat kelak, dalam sebuah hadist disebutkan, kita akan ditanyai, dari mana harta yang akan kita dapatklan, kemana kita pergunakan, untuk siapa kita berikan harta itu?Segala yang kita miliki akan ada pertanggngjawabannya kelak, makanya dalam islam harta itu harus jelas.




Bolehkah harta milik bersama dijadikan milik pribadi?


Kenapa tidak?


Saya kasih contoh. Orang tua saya meninggalkan satu rumah. Kemudian setelah dibagi-bagi(pembagian dalam Islam, bukan harus membongkar rumah itu, satu dapat atapnya, satu semennya, satu pintunya,bukan..bukan begitu). Cara Penghitungan ilmu faraidh adalah dengan menghitungnya bila harga rumah itu berapa kalau dijual.


Misalkan rumah harganya Rp 600 juta. Anak ada tiga orang, maka dibagilah pembagian rumah itu(setelah dibayarkan hutang dan wasiat yang sepertiga dari harta yang lainnya juga, misalkan hanya tinggal rumah itu saja lagi untuk bertiga).


Kemudian, karena ingin mempertahankan rumah satu-satunya peninggalan ortu mereka, dan mereka ingin juga melaksanakan perintah Allah dalam warisan setelah peninggalan ortu mereka, jalan satu-satunya adalah harta itu dibeli oleh seorang dari tiga bersaudara tadi. Harga rumah 600 juta, maka sang pembeli dari sang kakaklah, berkewajiban memberikan masing-masing kepada adiknya 200 juta (kalau sama-sama mereka perempuan atau lelaki, kalau satu perempuan, satu lelaki, maka bagian perempuan kurang setengah dari lelaki). Untuk mempermudah anggap ajalah semuanya perempuan. Ingat ini benar2 harta bersih yang akan dibagi, setelah wasiat dan hutang.